Sunday, September 23, 2012

Enterpreneur vs Self Selling


Banyaknya macam – macam usaha yang menjamur saat ini menuntut seorang wirausahawan untuk terus    menerus menghadirkan inovasi. Persaingan begitu ketat, namun hal itu tidak didukung oleh ketersediaan harga bahan baku yang terjangkau. Misalnya saja dalam bisnis yang bergelut pada bidang makanan atau kuliner. Bisnis dalam bidang makanan atau kuliner, terus terang saja memberikan tantangan lebih, diantaranya bagaimana menghasilkan produk makanan dengan harga terjangkau, bagaimana memperoleh bahan baku yang ‘murah’ , apakah diperlukan bahan pengganti bila terjadi berbagai macam kemungkinan pada bahan baku utama (misal : stok habis, harga naik), bagaimana menyajikan makanan yang tahan lama ataukah makanan dibuat ‘dadakan’ saja, bermacam – macam sekali hal – hal yang perlu dipersiapkan sebelum membangun sebuah usaha bisnis, khususnya dalam bidang makanan/kuliner.

Jarang sekali bisnis dalam bidang kuliner tersebut bisa bertahan lama katakanlah dalam jangka waktu 2 hingga 5 tahun. Semisal di sudut Jalan Badak dulunya berjualan Aneka Macam Nasi Goreng, namun dua tahun kemudian ketika berkunjung ke sana kembali sudah berubah menjadi dagang Bakso, dengan kepemilikan yang berbeda orang. Kemudian, contoh lagi, berjualan bakso. Bakso yang yang diperjualbelikan terbuat daging sapi asli. Namun, kenyataannya saat ini daging sapi terus    menerus mengalami peningkatan. Padahal untuk menghasilkan bakso yang kenyal, diperlukan komposisi daging lebih banyak dibandingkan tepungnya. Nah, saatnya mengambil kebijakan akankah tetap menggunakan daging sapi dengan konsekuensi harga bakso lebih mahal ataukan menggunakan produk pengganti yang sama dengan bakso. Itulah sebagian kecil dari tantangan bisnis yang mungkin sering kali terjadi di luar sana.

Untuk mengambil kebijakan – kebijakan dalam mengatasi tantangan tersebut diperlukan adanya persetujuan dari pemilik usaha. Biasanya, bisnis makanan dengan sistem entrepreneur, si pengambil keputusan tidak harus pemilik sekaligus pemberi modal yang memiliki wewenang khusus. Pemilik cukup melakukan pemantauan secara berkala, tanpa harus terjun langsung ke lapangan. Tentunya, si pemilik tersebut memiliki tangan kanan atau sejenis manajer yang terjun langsung ke lapangan. Pemilik taunya yang penting bisnisnya tetap berjalan, apapun yang terjadi pada pemiliknya. Misal, si pemilik tinggal di luar kota atau sekalipun pemilik terjerat hukum pidana. Selain itu, untuk bisnis dengan level entrepreneur ini ialah menyerap lebih banyak tenaga kerja, untuk jadi pegawainya misalnya.

Lain halnya dengan sistem self selling.  Sistem tersebut menggambarkan bagaimana seorang pemilik menjadi sentral. Contoh riilnya saja, warung – warung makan di sekitar kampus atau area kos Mahasiswa. Biasanya, pemilik warung ya yang memasak makanan, menjual makanan sendiri, atau mungkin dibantu oleh satu atau dua orang yang mayoritas dari keluarganya sendiri. Kemudian bila pemiliknya sakit, warungnya tutup. Biasanya, orang yang memperjual belikan makanan dengan sistem seperti ini, bertujuan hanya untuk mememenuhi kebutuhan sehari – hari. Sehingga dapat dianalogikan apa yang dijual hari ini hanya untuk kebutuhan hari ini. Tetapi terkadang implementasinya juga bervariasi, tidak harus begitu pula.

Sehingga poin utama menurut saya yang membedakan antara entrepreneur dengan self selling adalah dilihat dari banyaknya tenaga kerja yang diserap dan sistem pengambilan keputusan yang tersentralisasi atau tidak. Semoga hal ini dapat memberikan gambaran nyata suatu saat nanti, mau berusaha bisnis menggunakan sistem entrepreneur atau sistemself selling.

No comments:

Post a Comment