Banyaknya macam – macam usaha yang
menjamur saat ini menuntut seorang wirausahawan untuk terus –
menerus menghadirkan inovasi. Persaingan begitu ketat, namun hal itu tidak
didukung oleh ketersediaan harga bahan baku yang terjangkau. Misalnya saja
dalam bisnis yang bergelut pada bidang makanan atau kuliner. Bisnis dalam
bidang makanan atau kuliner, terus terang saja memberikan tantangan lebih,
diantaranya bagaimana menghasilkan produk makanan dengan harga terjangkau,
bagaimana memperoleh bahan baku yang ‘murah’ , apakah diperlukan bahan
pengganti bila terjadi berbagai macam kemungkinan pada bahan baku utama (misal
: stok habis, harga naik), bagaimana menyajikan makanan yang tahan lama ataukah
makanan dibuat ‘dadakan’ saja, bermacam – macam sekali hal – hal yang perlu
dipersiapkan sebelum membangun sebuah usaha bisnis, khususnya dalam bidang
makanan/kuliner.
Jarang sekali bisnis dalam bidang
kuliner tersebut bisa bertahan lama katakanlah dalam jangka waktu 2 hingga 5
tahun. Semisal di sudut Jalan Badak dulunya berjualan Aneka Macam Nasi Goreng,
namun dua tahun kemudian ketika berkunjung ke sana kembali sudah berubah
menjadi dagang Bakso, dengan kepemilikan yang berbeda orang. Kemudian, contoh
lagi, berjualan bakso. Bakso yang yang diperjualbelikan terbuat daging sapi
asli. Namun, kenyataannya saat ini daging sapi terus –
menerus mengalami peningkatan. Padahal untuk menghasilkan bakso yang
kenyal, diperlukan komposisi daging lebih banyak dibandingkan tepungnya. Nah,
saatnya mengambil kebijakan akankah tetap menggunakan daging sapi dengan
konsekuensi harga bakso lebih mahal ataukan menggunakan produk pengganti yang
sama dengan bakso. Itulah sebagian kecil dari tantangan bisnis yang mungkin
sering kali terjadi di luar sana.
Untuk mengambil kebijakan – kebijakan
dalam mengatasi tantangan tersebut diperlukan adanya persetujuan dari pemilik
usaha. Biasanya, bisnis makanan dengan sistem entrepreneur, si pengambil
keputusan tidak harus pemilik sekaligus pemberi modal yang memiliki wewenang
khusus. Pemilik cukup melakukan pemantauan secara berkala, tanpa harus terjun
langsung ke lapangan. Tentunya, si pemilik tersebut memiliki tangan kanan atau
sejenis manajer yang terjun langsung ke lapangan. Pemilik taunya yang penting
bisnisnya tetap berjalan, apapun yang terjadi pada pemiliknya. Misal, si
pemilik tinggal di luar kota atau sekalipun pemilik terjerat hukum pidana.
Selain itu, untuk bisnis dengan level entrepreneur ini ialah menyerap lebih
banyak tenaga kerja, untuk jadi pegawainya misalnya.
Lain halnya dengan sistem self selling. Sistem tersebut menggambarkan bagaimana
seorang pemilik menjadi sentral. Contoh riilnya saja, warung – warung makan di
sekitar kampus atau area kos Mahasiswa. Biasanya, pemilik warung ya yang
memasak makanan, menjual makanan sendiri, atau mungkin dibantu oleh satu atau
dua orang yang mayoritas dari keluarganya sendiri. Kemudian bila pemiliknya
sakit, warungnya tutup. Biasanya, orang yang memperjual belikan makanan dengan
sistem seperti ini, bertujuan hanya untuk mememenuhi kebutuhan sehari – hari.
Sehingga dapat dianalogikan apa yang dijual hari ini hanya untuk kebutuhan hari
ini. Tetapi terkadang implementasinya juga bervariasi, tidak harus begitu pula.
Sehingga poin utama menurut saya yang
membedakan antara entrepreneur dengan
self selling adalah dilihat dari
banyaknya tenaga kerja yang diserap dan sistem pengambilan keputusan yang
tersentralisasi atau tidak. Semoga hal ini dapat memberikan gambaran nyata
suatu saat nanti, mau berusaha bisnis menggunakan sistem entrepreneur atau
sistemself selling.
No comments:
Post a Comment